Ruang redaksi Kompas.com menjadi saksi bagaimana Alinda Hardiantoro, alumnus Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret (UNS) angkatan 2017, menjalani hari-harinya sebagai reporter. Setiap pagi, ia berhadapan dengan rentetan isu yang harus dibedah: politik, ekonomi, hukum, kesehatan, lifestyle, hingga konflik internasional. Di tangannya, berita-berita itu diolah menjadi narasi yang runtut, berimbang, dan yang terpenting: terverifikasi.
“Bekerja sebagai wartawan campur aduk banget rasanya,” ujar perempuan yang kini bertugas di PT Kompas Cyber Media sejak Februari 2022 itu. Excited, senang, lelah, semuanya bercampur dalam ritme kerja yang menuntut disiplin tinggi dan kemampuan update informasi secara cepat di era media sosial.
Jejak Awal: Perpustakaan dan Buku Andy Noya
Benih kecintaan Alinda pada menulis dan jurnalisme ditanam sejak masa kanak-kanak. Akses ke perpustakaan SD yang lengkap membuka dunianya pada bacaan. Kebiasaan membaca itu terus dipupuk hingga ia aktif di ekstrakurikuler jurnalistik semasa SMP dan SMK.
Titik balik terjadi saat magang di PT Garudafood Putra-Putri Jaya, Gresik, menjelang lulus SMK. Di sana, Alinda membaca buku karya Andy Noya yang memperkenalkannya pada profesi wartawan, pekerjaan yang membutuhkan disiplin sekaligus minat tinggi pada membaca dan menulis.
“Sepertinya, sejak saat itu mulai bercita-cita jadi wartawan,” kenangnya.
Namun, jalan menuju cita-cita itu tidak langsung lurus. Saat kuliah di Sastra Arab UNS, Alinda terlambat mendaftar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Ia kemudian bergabung dengan Kalpadruma FIB dan mengambil mata kuliah jurnalistik meski tidak wajib. Bahkan, di semester lima, ia memilih magang di Kementerian Luar Negeri ketimbang media. “Kapan lagi bisa magang di sana, kan?” ujarnya.
Menemukan Passion Bersama Eka Kurniawan
Sebuah seminar tentang passion bersama sastrawan Eka Kurniawan menjadi momen pencerahan bagi Alinda. Pernyataan Eka menggema dalam ingatannya, “Kalau kamu suka bahkan cinta pada sesuatu, kamu tak akan bingung memulainya.”
Kata-kata itu membuat Alinda mengingat kembali kesenangannya membaca dan menulis. “Saya pikir, saya sudah menemukan passion saya, menulis,” katanya.
Di sela-sela mengerjakan skripsi, Alinda mulai aktif menulis di blog dan magang sebagai jurnalis di Humas UNS. Langkah-langkah itu bukan hanya untuk menyalurkan minat, tapi juga mengumpulkan portofolio.
Masuk Kompas.com: Verifikasi dan Ketelitian
Akhir 2021, Alinda menemukan lowongan reporter di Kompas.com melalui Kalibrr. Ia mendaftar dengan portofolio tulisan dari masa magang di Humas UNS dan tulisan evergreen dari tempat kerja sebelumnya.
Proses seleksi berlangsung ketat, interview bersama HR dan user, dilanjutkan tes tertulis yang meliputi penulisan berita dan rencana liputan. Sekitar Januari 2022, kabar baik tiba. Alinda dinyatakan lolos dan mulai bekerja Februari 2022.
Sebagai reporter di kanal Tren yang dikenal sebagai kanal “palugada” atau apa saja ada, job desc Alinda tidak sekadar menulis. Ia harus mencari topik berita, menentukan narasumber yang tepat, melakukan wawancara, riset data, mengolah hasil wawancara, baru kemudian menulis berita.
Bahasa Arab sebagai Senjata
Latar belakang Sastra Arab ternyata menjadi aset berharga dalam pekerjaan Alinda, terutama saat meliput berita-berita Timur Tengah seperti konflik Hamas versus Israel di Gaza.
“Kemampuan bahasa Arab sangat dibutuhkan. Saya dituntut mencari sumber yang kredibel dan berimbang sebelum diolah menjadi tulisan berita,” ungkapnya.
Penerjemahan dari bahasa Arab ke Indonesia yang tepat menjadi krusial mengingat isu-isu konflik sangat sensitif dan rawan misleading. Di Kompas.com, Alinda bukan satu-satunya lulusan Sastra Arab. Editornya kebetulan juga alumnus Sastra Arab UGM. Namun, lulusan Sastra Arab di redaksi itu bisa dihitung dengan jari.
Tantangan di Era AI
Di tengah dinamika pekerjaan yang menyenangkan seperti atmosfer kerja tanpa senioritas, kesempatan bertemu tokoh-tokoh inspiratif, dan jaringan yang terus meluas, Alinda menghadapi tantangan baru: penggunaan kecerdasan artifisial (AI) dalam penulisan berita.
“Sekarang orang-orang kalau menulis sudah bisa pakai AI. Lebih cepat, tinggal masukin prompt, naskah berita sudah jadi,” katanya. Beberapa waktu lalu, sempat viral berita yang ketahuan ditulis pakai AI tapi lupa tidak diedit.
Ia mengingat sebuah insiden yang sempat ramai diperbincangkan di kalangan jurnalis. “Beberapa waktu yang lalu sempat viral berita yang ketahuan ditulis pakai AI tapi lupa enggak diedit,” ujar Alinda. Kasus itu menjadi peringatan keras bagi industri media bahwa kemudahan teknologi bisa menjadi jebakan jika mengorbankan kualitas dan kredibilitas.
Kejadian tersebut memperkuat keyakinan Alinda untuk tidak sekadar mengejar kecepatan. Menghadapi tantangan ini, ia memiliki cara yang berbeda. “Saya cuma bisa menghadapi tantangan ini dengan mencoba menulis menggunakan rasa dan menghadirkan apa yang tidak dilihat pembaca melalui tulisan saya.”
Prinsip inilah yang membedakan produk jurnalis dengan konten kreator: verifikasi dan konfirmasi. Ketelitian dalam mencari sumber, keberanian mengonfirmasi langsung kepada narasumber, dan kemampuan menghadirkan sudut pandang yang lebih dalam tidak bisa digantikan algoritma.
Pesan untuk Adik Tingkat
Bagi mahasiswa yang berminat terjun ke dunia jurnalistik, Alinda punya pesan sederhana: mulailah menulis.
“Meski sekarang produk video lebih dinikmati, tapi menulis tetap jadi modal utama. Kalau tulisan bagus, mau diolah jadi produk video atau apa pun, hasilnya juga bagus dan mudah dimengerti audiens,” tuturnya.
Ia menyarankan untuk menulis apa saja yang dilihat setiap hari. Jika ada keresahan, tulislah. Setelah itu, cobalah untuk mengonfirmasi dan memverifikasi, bertanya kepada orang yang mengalami, atau dosen dan pakar yang memahami isu tersebut.
Hasil tulisan atau video bisa diunggah di blog, media sosial, atau dikirim ke kantor media. “Ada banyak sekali platform yang bisa digunakan untuk mengumpulkan portofolio sebagai penunjang mencari pekerjaan setelah lulus dari perkuliahan,” katanya.
Di ruang redaksi yang sibuk, Alinda terus mengasah kemampuannya menulis dengan rasa. Setiap berita yang ia olah adalah bukti bahwa passion yang ditemukan sejak kecil, yakni membaca dan menulis, kini menjadi jalan hidup yang ia jalani dengan penuh keyakinan. Seperti kata Eka Kurniawan yang ia ingat: jika kamu cinta pada sesuatu, kamu tak akan bingung memulainya. [adm]










