SURAKARTA, SASTRA ARAB UNS — Meski teknologi penerjemahan terus berkembang, kecerdasan buatan (AI) masih memiliki keterbatasan dalam menerjemahkan bahasa Arab. “Mesin penerjemah otomatis umumnya baru berada di survival level, sementara pemahaman bahasa butuh lebih dari sekadar terjemahan kata per kata,” ungkap Abdul Malik, S.S., M.Hum., dosen Sastra Arab Universitas Sebelas Maret (UNS) dalam Diklat Nasional Mata Pelajaran Bahasa Arab, Kamis (14/11/2024).
Di hadapan lebih dari 170 guru dari berbagai kota di Indonesia, Malik menjelaskan bahwa mesin tidak mampu memahami konteks budaya dalam bahasa. “Kata ‘هتف’ bisa berarti ‘berbisik’ dalam kultur Sudan atau ‘menelepon’ dalam kultur Mesir. Relevansi seperti ini berada di luar algoritma mesin,” paparnya.
Malik juga mencontohkan bagaimana istilah-istilah bermuatan budaya tidak bisa diterjemahkan secara leksikal. “Butuh pemahaman mendalam untuk menerjemahkan konsep seperti ‘tumpang sari’ ke dalam bahasa Arab. Mesin tidak bisa memberikan deskripsi yang tepat untuk hal-hal semacam ini,” jelasnya.
Keunggulan Penerjemah Manusia
“Orang yang memiliki kemampuan bahasa asing pada analytical level cenderung mampu memahami budaya di balik bahasa,” jelas Malik. Ia menekankan bahwa kemampuan ini memberi keunggulan signifikan dibanding mesin penerjemah.
Mengutip berbagai penelitian, Malik menunjukkan manfaat lain dari kemampuan dwibahasa. “Penelitian dari Universitas New York, Northwestern, dan York Toronto membuktikan bahwa kemampuan bilingual memperkuat daya ingat, kreativitas, dan kemampuan multitasking,” tuturnya.
“Bahkan dari sisi kesehatan, kemampuan dwibahasa terbukti dapat memperlambat penyakit neurologis seperti demensia dan alzheimer. Ini adalah keunggulan yang tidak bisa digantikan teknologi,” tambahnya.
Diklat 38 jam pelajaran yang berlangsung hingga 17 November ini diharapkan dapat membantu guru mengembangkan metode pengajaran yang mengoptimalkan kemampuan manusia dalam memahami bahasa Arab secara mendalam, melampaui kemampuan mesin penerjemah. [adm]