Oleh: Ritcia Antoni*

Dia adalah Sultan Muhammad II, adalah Sultan Utsmani ke -7 dalam sisilah keturunan keluarga Utsman. Muhammad II memiliki gelar Al-Fatih dan Abu Al-Akhirat. Memiliki kepribadian kuat menggabungkan kekuatan dan keadilan yang membuatnya menjadi sosok legenda sejarah umat Islam yang sangat populer setelah berhasil menaklukkan Kota Konstantinopel ke tangan umat muslim pada tahun 1453M.

Mehmed II atau Sultan Muhammad Al Fatih (Sumber: Google Images)

Sosok Sultan Muhammad II merupakan seorang Khilafah Utsmaniyah, memerintah hampir selama tiga puluh tahun yang diwarnai dengan kemuliaan dan kebaikan bagi kaum muslimin. Ia memiliki amanah menjadi Sultan Utsmani setelah menggantikan ayahnya Muhammad 1 yang telah wafat pada tanggal 16 Muharram 855 H, bertepatan dengan  18 Februari 1451 M. Ketika itu Muhammad II masih memiliki umur menginjak 22 tahun.

Sejak masa kecilnya memiliki keunggulan dalam menyerap dan menangkap ilmu pengetahuan. Ia memiliki pengetahuan yang luas, khususnya dalam bidang Bahasa, serta memiliki kecenderungan besar terhadap buku-buku sejarah. Inilah yang membuatnya menjadi sosok seorang pemimpin pasukan muslimin yang memiliki keahlian urusan manajemen, administrasi negara, penguasaan medan dan ahli strategi perang. Keunggulan akhlaknya terhadap Syariat Islam membuatnya memiliki sikap bijaksana, pemberani, suka memberi, dan rela berkorban, demi membela akidah dan syariat. Semua itu dilakukan dengan mengharapkan pahala dari Allah.

Keteguhan Hati dan Keberanian

Sultan Al-Fatih terjun sendiri ke medan laga dan berperang melawan musuh dengan pedangnya sendiri. Dalam peperang di wilayah Balkan, tantara Utsmani berhadapan dengan tentara Bughanda yang bersembunyi di balik pepohonan yang rapat. Pasukan Utsmani yang melihat mocong meriam yang diarahkan dari pepohonan seketika melakukan tiarap karena posisi tertahan dari serangan mengejutkan tersebut. Kemudian sang Sultan lalu berteriak dengan lantang “Wahai pasukan Mujahidin, jadilah kalian tentara Allah, dan hendaklah ada dalam dada kalian semangat Islam yang membara”.

Kemudian ia memegang tameng dan menghunuskan pedangnya, serta segera memacu kudanya ke arah paling depan tanpa menoleh kepada apapun. Tindakannya ini memunculkan semangat jihad yang membara, kemudian semua pasukan bergerak dengan gemuruh takbir menyusul komandan tertingginya tersebut. Pasukan Utsmani berhasil mempora-porandakan pasukan Bughanda serta berhasil memenangkan peperangan.

Keikhlasan

Sesungguhnya dalam banyak sikap yang diabadikan dalam perjalanan sejarah Sultan Al-Fatih, tampak keutamaan sikap keikhlasannya, kedalaman iman, serta akidah lurus. Dalam sebuah syair dia berkata:

Niatku: Taat kepada perintah Allah, “Dan Hendaklah kalian berjihad di jalan-Nya (Al-Maidah: 35)
Wa Hamasi (semangatku): Adalah mengeluarkan semua upaya untuk mengabdi pada agamaku, agama Allah.
‘Azmi (tekadku): Saya akan buat orang-orang kafir bertekuk lutut dengan bala tentaraku, berkat kelembutan Allah.
Jihadi (Jihadku): Adalah dengan jiwa raga dan harta benda. Lalu apa makna dunia setelah ketaatan kepada perintah Allah.
Wa Tafkiri (pusat pikiranku): Terpusat pada kemenangan yang datang dari rahmat Allah.
Asywaqi (Kerinduanku): Perang dan perang ratusan ribu kali untuk mendapatkan ridha Allah.
Wa Raja’I (Harapanku): Adalah pertolongan Allah, dan kemenangan negara inni atas musuh-musuh Allah.

Disiplin Berilmu

Orang tua Sultan sudah memperhatikan dirinya sejak masa kecil. Ia tunduk akan aturan gurunya Syaikh Aaq Syamsuddin ulama ahli pada masanya. Ia mempelajari Al-Quran, hadis, fiqih, dan ilmu modern seperti berhitung, falak, sejarah, pendidikan kemiliteran, baik secara teori maupun praktik. Dampak dari pendidikan yang ia terima, tampak sekali dalam orientasi peradaban, politik dan kemiliteran. Sultan menguasai tiga bahasa dengan sangat baik yang tidak mungkin bagi seseorang yang berpendidikan di masa itu tidak menguasainya, yakni Bahasa Arab, Persia, dan Turki. Ia juga dikenal sebagai seorang penyair dan dia mengarang kumpulan puisi dalam Bahasa Turki.

Menjunjung Tinggi Keadilan

Sultan telah berinteraksi dengan Ahli Kitab sesuai dengan syariat Islam dan memberikan pada mereka hak-hak beragama. Ia tidak pernah melakukan perlakuan jahat pada seseorang pun dari kalangan Nasrani. Bahkan sebaliknya ia menghormati para pemimpin mereka dan berbuat baik kepada mereka. Baginya keadilan sebagai pondasi kekuasaan.

Cerdas

Kecerdasan Sultan Al-Fatih terlihat jelas dari ide cemerlang untuk memindahkan kapal-kapal dari pangkalan menuju wilayah Tanduk Emas. Dengan cara menarik kapal-kapal tersebut ke daratan dengan diluncurkan di atas kayu-kayu yang telah diberi minyak dan lemak. Hal ini dilakukan untuk menghindari pantauan pasukan Geneva di Galata, sedangkan jarak kedua Pelabuhan adalah sejauh tiga mil. Medan yang ia melewati bukanlah dataran rendah melainkan perbukitan, dengan taktiknya ia memberi arahan meratakan tanah kemudian menyiapkan papan kayu yang disusun dengan lapisan minyak, kemudian kapal-kapal itu ditarik dan melewati perbukitan. Pekerjaan ini merupakan ide cemerlang pada masa itu. Yang mengagumkan adalah kecepatan berfikir dan kecepatan beraksi, satu hal yang menunjukan kecerdasannya.

Kemauan Kuat dan Gigih

Tatkala Sultan mengirimkan utusan untuk Konstantinopel untuk menyerahkan wilayahnya dengan jaminan tidak akan mendapatkan gangguan apa-apa, Raja Konstantinopel kemudian menolak dan akan mempertahankan wilayahnya. Kemudiaan Al Fatih memberikan jawaban “Baiklah, dalam jangka waktu dekat akan ada singgasana untukku di Konstantinopel atau aku akan terkubur bersama puing-puingnya”.

Sikap yang juga tampak, Ketika pasukan Byzantium membakar benteng bergerak yang terbuat dari kayu, jawaban yang Sultan katakan : “Besok akan kami buatkan empet benteng semisal itu sebagai penggantinya”. Sikap ini menunjukan kemauan keras dan kegigihan dalam mencapai apa yang menjadi targetnya. Tanpa kegigihan tersebut rencana-rencana besar sulit akan terealisasi.

Sungguh banyak pelajaran yang bisa diambil dari Sultan Muhammad Al Fatih, penerapan syariat Islam dalam sebuah kepemimpinan masyarakat ataupun sebuah bangsa bisa membawa keadilan dan kesejahteraan bersama. Setiap bangsa yang berusaha menerapkan ajaran Allah yang Maha Agung akan memperoleh hasil yang agung. Dan buah dari penerapan ini adalah gampang dilihatnya pada individu-individu, pemerintah, dan negaranya.

Kemenangan gemilang dalam perjalanan umat Islam akan Allah berikan kepada siapa saja yang ikhlas berbuat demi menjalankan perintah Tuhannya, demi agama, menegakkan Syariah, serta mensucikan jiwanya. Maka dari itu kemenangan tidak bisa diperoleh kecuali dari mereka yang memenuhi syarat-syaratnya, sesuai Syariat Allah dan Sunnah-Nya.

*) Penulis adalah mahasiswa Sastra Arab angkatan 2017.