SURAKARTA, SASTRA ARAB UNS — “Sejak kecil, anak-anak Indonesia telah dikenalkan dengan budaya pamit melalui lagu-lagu yang akrab di telinga. Namun, tradisi sarat makna ini kini mulai memudar,” ungkap Dr. Eva Farhah, S.S., M.A., dosen Program Studi Sastra Arab Universitas Sebelas Maret (UNS) dalam siniar “Jagongan” yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, Jumat (18/10/2024).
Tertanam dalam Syair Lagu
Dalam perbincangan yang dipandu Dedi Setiadi, Eva menjelaskan bagaimana nilai-nilai pamit telah ditanamkan melalui lagu “Pergi Belajar” karya Ibu Sud dan lagu Jawa “Esuk-esuk Srengengene”. “Lagu-lagu ini bukan sekadar hiburan, tetapi media pembelajaran yang mengajarkan pentingnya meminta izin dan restu,” tuturnya.
“Oh, Ibu dan Ayah, selamat pagi, kupergi belajar sampaikan nanti,” demikian penggalan lagu Ibu Sud yang menjadi pengingat pentingnya pamit sebelum berangkat sekolah. Begitu pula dengan “Esuk-esuk srengengene lagi metu, sibu. Nyuwun pangestu kang putra badhe sinau, sibu,” yang mengajarkan nilai serupa dalam bahasa Jawa.
Eva memaparkan enam manfaat penting dari tradisi berpamitan. “Selain membangun sikap saling menghormati dan menghargai, pamit juga menjadi momen memohon restu,” jelasnya. Ia menambahkan, kebiasaan ini juga mempererat ikatan keluarga melalui kehangatan yang terjalin saat berpamitan.
Aspek keamanan juga menjadi nilai plus dari tradisi pamit. “Saat berpamitan, kita bisa mengetahui tujuan, dengan siapa, dan kapan waktu kepulangan. Ini cara mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,” papar Eva.
Dalam era digital, Eva menjelaskan bahwa pamit bisa dilakukan dengan berbagai cara. “Bisa secara langsung dengan sowan, melalui telepon atau WhatsApp, atau diwakilkan oleh orang lain,” ujarnya. Yang terpenting, lanjut Eva, adalah cara penyampaiannya: menggunakan bahasa yang baik, tenang, sopan, dan dengan wajah sumringah.
Fenomena Tidak Pamit
Menariknya, Eva juga mengulas makna di balik perilaku tidak berpamitan. “Ada delapan kemungkinan mengapa seseorang memilih tidak pamit,” jelasnya. Mulai dari sifat introvert, tidak terbiasa, hingga keinginan menjaga stabilitas lingkungan.
“Orang yang tidak berpamitan sebenarnya memiliki effort kerja lebih keras. Mereka harus memastikan diri dalam keadaan aman dan lingkungan sekitar tetap nyaman,” tambahnya. Beberapa bahkan memilih tidak pamit karena ingin memberi kejutan positif saat sudah berhasil.
“Datang tampak muka, pergi tampak punggung,” kutip Eva mengakhiri perbincangan. Pepatah ini menegaskan bahwa pamit bukan sekadar formalitas, melainkan cermin adab dan tata krama yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.
“Berpamitan selalu lebih baik daripada tidak. Selain mendapat doa, pamit juga memudahkan yang ditinggalkan untuk memberi informasi jika ada yang mencari,” tutupnya, mengingatkan bahwa di balik kesuksesan selalu ada doa dan restu orang-orang terdekat. [adm]